AKU DAN ANAKKU
Ku lipat mukena yang kukenakan sehabis menunaikan sholat isya, aku segera ke kamar mandi sambil membawa test peck untuk mengecek kehamilan. Sebenarnya aku hampir putus asa untuk bisa memiliki sang buah hati lagi, sudah 12 tahun aku menunggu namun tak jua ada tanda-tanda kehamilan dalam rahimku.Namun, entah kenapa malam ini ada keyakinan yang begitu kuat dalam batinku bahwa hasilnya akan positif, suamiku pada saat itu hanya tersenyum geli melihat tingkahku sementara kakak dengan sabar menunggu di depan pintu kamar mandi menunggu hasil tast pack yang ku bawa.
Yah aku memang sudah memiliki seorang putra yang sudah mulai beranjak remaja, di usianya yang ke-15 tahun aku belum jua mempersembahkan adik untuknya padahal hampir setiap hari dia menanyakannya.
entah berapa puluh taspack yang sudah ku coba karena hampir setiap bulan selama 5 tahun ini aku mengecek kehamilanku tapi hasilnya selalu nihil.
Kadang rasa putus asa kerap menghampiri tapi aku selalu berusaha menepisnya.
Maa... gimana hasilnya?." tanyanya sambil terus duduk didepan kamar mandi".
Sebentar sayang mama belum selesai ini."jawabku".
Dik kata temen kakak urine sehabis bangun tidur pagi-pagi yang akurat hasilnya."ujar suamiku dari kamar tengah."
Yaa adik tau tapi adik gak sabar mau mengecek sekarang."ujarku".
Aku juga heran entah keyakinan dari mana datangnya hingga aku begitu yakin bahwa hasilnya akan positif.
Beberapa saat kemudian saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba, dengan perasaan berdebar-debar ku amati garis merah di alat taspack kehamilan yang ku pegang. berlahan namun pasti terbentuklah dua garis yang begitu kurindukan selama ini. Aku memekik kegirangan, rasa syukur tiada henti senantiasa keluar dari mulutku.
Maaa gimana udah keluar gak hasilnya?." tanya anakku di luar."
Aku lalu keluar dari kamar mandi, lalu setengah bercanda aku memasang wajah sedih sambil mengeluarkan hasil tes kehamilanku.
satu dua tigaaaa ucapku sambil mengeluarkan alat test kehamilanku.
Dengan wajah kebingungan karena anakku memang masih belum mengerti menanyakan arti garis merah berjumlah dua itu apa, aku lalu menjelaskan padanya bahwa sebentar lagi dia akan memiliki seorang adik.
Dengan wajah gembira dia berlari ke arah bapaknya sambil memperlihatkan hasil test kehamilanku.
Suamiku waktu itu langsung berlari memeluk dan mencium keningku. Kami sangat bahagia dengan hasil test itu.
Penantian kami selama 12 tahun akhirnya terbayar sudah, aku langsung sujud syukur derai air mata tak terbendung membasahi kedua pipiku.
Untuk lebih meyakinkan lagi esok paginya aku melakukan test lagi dan hasilnya sama positif.
Tok tok tok...suara ketukan palu dari pak Hakim membuyarkan lamunanku akan masa silam.
Hari ini awan hitam seperti enggan pergi meninggalkan sang cakrawala, mendung menyelimuti hati yang kelabu.
Ragaku seperti tersayat pisau berkarat saat mendengar ketukan palu itu. Tak pernah terbersit dalam anganku pernikahanku akan kandas dengan cara se tragis ini.
Awal kehamilan suamiku begitu memperhatikanku, segala makanan yang kuinginkan selalu berusaha dikabulkannya.
Aku sangat bahagia atas perhatiannya, anakku yang bungsu tidak mau ketinggalan hampir setiap saat dia mengecek perutku sambil bertanya berapa lama adik akan keluar.
Kehamilanku yang ke dua terasa jauh lebih berat dari yang pertama, makanan tidak boleh lepas dari mulutku, bahkan sering sampai tertidur makanan masih ada dalam mulutku, pinggang dan punggung sering terasa sakit yang tidak tertahankan.
Lima bulan kehamilan sikap suamiku mulai berubah, dia sering marah-marah jika ku dekati, dia sudah tidak menunjukkan rasa pedulinya meski kondisi kehamilanku semakin membesar. Namun, aku bersyukur aku memiliki seorang putra yang begitu telaten mengurusku,Anak tertuaku tanpa kenal lelah memijit setiap kali aku mengeluh kesakitan sementara suamiku asyik berduaan dengan seorang perempuan berstatus janda yang sudah sebulan ini tinggal menumpang dirumah mertua.
Pagi hari nan cerah, semilir angin pagi terasa begitu sejuk kuhirup, ku bereskan semua perlengkapan yang akan ku bawa ke rumah sakit. Hari yang di nantikan akhirnya tiba, anakku terlahir ke dunia ini dengan berat 3,4 kg panjang 50 cm dengan operasi sesar wajahnya sangat tampan hidungnya mancung, kulitnya putih dan sangat bersih. Saat dia terlahir aku dalam kondisi sedang tidak baik-baik saja, hatiku diliputi oleh perasaan curiga dan was-was atas hubungan terlarang suamiku dengan perempuan tersebut. Rasa tidak peduli suamiku begitu kurasakan di kehamilan keduaku ini, bahkan dalam kondisi tidak berdaya pasca operasi pun dia tidak menunjukkan sikap selayaknya seorang suami. Aku hanya menelan ludahku setiap menyadari hal ini, sementara itu perempuan itu tidak henti-hentinya berkunjung ke rumah sakit selayaknya keluarga dekat dengan alasan menjengukku.
Ada rasa sakit yang menjalar disekujur tubuhku setiap kali aku melihat cara mereka saling bertatapan. Namun, yang aku syukuri aku dikelilingi oleh orang-orang yang baik, ibu mertua yang tanpa kenal lelah siang malam mengurusku, anak tertuaku yang senantiasa menunjukkan baktinya, Bibi, adik-adik ipar yang senantiasa ada jika dibutuhkan sedikit bisa menjadi pengobat dikala aku kesulitan mengurus diriku.
Pada tanggal 18 Agustus tahun 2018 tepat tiga minggu setelah anak keduaku lahir gempa dahsyat melanda. Pusat gempa berasal dari Lombok Utara, pada saat itu bayi mungilku sedang tertidur di kamar tidur sementara aku sedang berada di kamar mandi.
Goncangan hebat membuatku berlari sambil berteriak memanggil anakku, aku langsung mengangkat tubuh mungilnya yang sebagian terkena serpihan tembok kamar yang mengelupas akibat gempa, seketika suasana gelap gulita, nampaknya hampir seluruh daerah lombok mati lampu. Suara teriakan ketakutan terdengar dimana-mana, aku yang pada saat itu masih dalam kondisi belum stabil berusaha mencari penutup kepala karena aku keluar dalam kondisi baju tanpa lengan.
Beruntungnya dijemuran ada kainku yang tersisa satu, segera ku ambil kain itu lalu ku tutup kepala dan tubuhku sementara bayi mungilku diambil dan di gendong oleh bapak mertuaku. Suara teriakan ketakutan semakin ramai terdengar bahkan sebagian besar sudah berlari-lari ke arah bukit sambil berteriak tsunami tsunamii .
Sambil berpegangan dengan ibu mertuaku serta beberapa anggota keluargaku kami berlari ke arah bukit. Pada malam kejadian suamiku sedang pergi ke Lombok Timur, sambil menahan sakit karena kondisi jahitan pasca operasi belum kering ku percepat langkah kakiku .
Suasana begitu mencekam, gempa susulan tak henti-hentinya bergoyang bahkan beberapa rumah sudah banyak yang ambruk tak berbekas.
Sesampainya kami di atas bukit kami lalu beristirahat, suasana horor masih menyelimuti karena akibat goncangan gempa susulan yang terjadi pohon-pohon serta bukit yang berada disekitar tempat kami istirahat seperti mau tumbang dan menimpa kami.
Dalam kondisi gelap gulita aku mencari ibu mertuaku, bayi mungilku masih digendong oleh bapak mertuaku, beralaskan mukena sebagai selimut bayi mungilku anteng dan tidak rewel sedikitpun. Dia tertidur begitu lelap dan aku sangat mensyukurinya, aku kembali mencari ibu mertuaku ternyata dia tertidur di pinggir jalan.
Inaak jangan tidur disana nanti diinjak orang. "Tegurku setengah berteriak."
Berkali-kali ku panggil ibu mertuaku tapi tak ada sahutan yang kudengar, karena suasana yang gelap gulita kunyalakan senter dari Hp yang batrenya tinggal beberapa persen lagi, alangkah terkejutnya begitu kudapati ibu mertuaku sudah dalam kondisi sekarat. Aku memekik histeris, aku berteriak kembali memanggil namanya tapi tak jua ku dengar sahutan. Sementara dari mulut mertuaku tak henti-hentinya mengeluarkan makanan yang dia makan tadi sore, aku tanpa fikir panjang melepaskan kain penutup kepala yang kugunakan untuk membersihkan mulutnya. Semua terpaksa aku lakukan karena tidak ada cara lain untuk membersihkannya.
Malam semakin beranjak kelam, suasana semakin mencekam teriakan suara takbir menggema dimana-mana kala goncangan demi goncangan hebat kembali melanda bumi tercinta ini.
Beberapa orang mulai berkumpul menyaksikan kondisi ibu mertuaku, sementara yang lain sedang sibuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi. Aku lalu mengambil bayiku yang sedari tadi di gendong oleh bapak mertuaku.
Hembusan angin malam semakin terasa menusuk tulang, rasa kedinginan disekujur tubuh mulai terasa. Ku peluk bayi mungilku dengan erat agar dia tidak merasa kedinginan, jujur aku sangat mengkhawatirkannya.
Dia tertidur dengan begitu lelapnya sepertinya dia mengerti bahwa saat ini suasana sedang tidak baik-baik saja dan dia tidak mau menyusahkan orang lain terutama mamanya.
Malam itu merupakan malam terpanjang yang kurasakan selama hidupku, betapa hati ini tidak sabar menyongsong sang mentari. Suasana gelap gulita disertai goncangan hebat membuatku diliputi rasa takut yang teramat sangat, kondisi mertua yang tak kunjung sadarkan diri membuatku semakin panik.
Suara azan subuh dari salah satu pengungsi menyadarkanku bahwa pagi akan segera menyapa. Derai air mata tak terbendung membasahi pipiku, aku bersyukur isu tsunami yang diributkan tadi malam tidak benar adanya, sambil menggendong bayiku aku bertanya mengenai kondisi ibu mertuaku tapi jawaban yang aku dapatkan sangat memilukan hatiku, ibu mertuaku sudah tidak ada harapan lagi.
Ketika mentari telah menampakkan sinar indahnya dengan nekat ditengah reruntuhan rumah yang hancur akibat gempa suami dan beberapa anggota keluarga membopong mayat ibu mertuaku.
Suasana masih mencekam, orang-orang mulai kembali kerumah mereka untuk mengambil beberapa perlengkapan yang diperlukan untuk mengungsi. Hanya kerabat dekat yang mengurus jenazah ibu mertuaku sementara para tetangga masih diliputi oleh rasa ketakutan untuk kembali kerumah.
Inaaakk...kenapa engkau pergi secepat ini aku sayang inak."teriakku sambil berurai air mata."
masih jelas teringat dalam benakku tadi malam kita bergandengan tangan menyeberangi jalan mengungsi bersama untuk menyelamatkan diri, tapi kini engkau telah pergi untuk selama-lamanya.
Setelah pemakaman selesai pihak keluargaku meminta izin pada suamiku untuk membawaku mengungsi di Lombok Timur mengingat kondisiku yang baru melahirkan. Di luar dugaan suamiku mengizinkan dan sama sekali tidak merasa keberatan .
Hampir tiga bulan aku, anak tertuaku dan bayiku hidup dalam pengungsian sementara suamiku mengungsi di tempat lain bersama keluarga dan perempuan itu.
Suka duka hidup dalam pengungsian di tengah suasana gempa yang tak berkesudahan membuat bayang-bayang ketakutan begitu sulit beranjak dari ingatanku, rasa trauma masih meliputi segenap raga.
Bayi mungilku tumbuh dengan sehat, ditengah suasana hati yang terluka karena pengkhianatan suami tercinta bayiku merupakan pengobat lara. Setiap melihat senyumnya, dunia seperti milikku, dia sumber kekuatan sumber kebahagiaan aku merawatnya dengan segenap rasa kasih sayang yang kupunya.
Tiga bulan pasca gempa aku kembali dari pengungsian, suamiku dengan wajah asingnya menjemputku hari itu. Aku kembali kerumah, tapi ke rumah yang belum lama ini ku beli dan belum pernah ku tinggali karena rumah yang selama ini kutinggali runtuh akibat gempa beberapa bulan yang lalu.
Perubahan sikap suamiku begitu terasa, dia jarang sekali pulang kerumah, dia hanya pulang kerumah ditengah malam buta dan pagi-pagi sekali dia sudah ke desa dirumah mertua dimana perempuan itu masih tinggal menumpang.
Waktunya lebih banyak dia habiskan untuk perempuan itu. Kecurigaanku semakin menjadi-jadi berbagai cara aku lakukan untuk mencari bukti perselingkuhan mereka berdua namun tak jua berhasil. Hingga suatu hari, aku mendapatkan telefon jika pesanan barang yang dipesan oleh customerku sudah sampai dan harus segera diantarkan. Seperti biasa jika dalam kondisi mendesak aku akan menitipkan anakku di sepupu sekaligus pengasuh anakku, namun hari itu dia berhalangan karena harus pulang merawat ibunya yang sedang sakit, dengan sangat terpaksa aku titip anakku di perempuan itu. Beberapa jam kemudian setelah barang selesai kuantar aku kembali kerumah mertuaku untuk mengambil anakku, pada saat aku sampai di sana suasana cukup lengang hanya ada bapak mertua dan beberapa tetangga yang sedang mengobrol sementara suamiku seperti biasa tidak ada dirumah. Aku lalu mencari anakku di dalam kamar, nampaknya anakku sedang tidur dan kulihat perempuan itu juga tertidur dengan begitu lelapnya. Mataku tertuju pada benda pipih warna hitam yang terletak disamping perempuan itu, hp jadul yang selama ini begitu ingin aku periksa. Dengan tubuh bergetar kuambil benda kecil itu, ku buka pesan yang ada disana dan alangkah hancurnya hatiku begitu melihat salah satu pesan yang berasal dari suamiku. Pesan ucapan selamat ulang tahun hari pernikahan yang berasal dari suamiku untuk perempuan itu.
Dunia serasa berputar, perasaanku hancur berkeping-keping. Harga diri sebagai seorang istri serasa tercabik-cabik oleh pengkhianatan mereka berdua, begitu lihainya mereka menyembunyikan kebusukan mereka di hadapanku selama satu tahun dan yang membuat perasaanku hancur keluarga besar suamiku menyembunyikan kejadian sepenting ini dariku.
Betapa teganya mereka semua.
Tok tok... ketukan pintu kamar hotel tempatku menginap menyadarkanku kembali dari lamunan panjangku.
Kejadian beberapa tahun silam sampai saat ini masih terus membayangi hari-hariku. Begitu kubuka pintu ternyata kedua anakku sudah berdiri didepan pintu sambil membawakan seikat bunga mawar dan ucapan "Selamat Hari Ibu".
Selamat Hari Ibu ya Ma..."ucap mereka berdua hampir bersamaan".Aku berhamburan keluar memeluk mereka berdua, air mataku mengalir deras. Kupandangi mereka berdua, tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Saat ini anak tertuaku sudah menginjak remaja sementara bayi mungilku sudah menginjak umur 4 tahun. Di usia dia yang masih sangat belia, dia sudah menunjukkan sikap-sikap yang sering membuatku berdecak kagum.
Aku bahagia memiliki mereka berdua, harta berharga dalam hidupku.
Aku dan Anakku