Aku
terpaku memandang wajah pucat itu,
Aku
termangu menatap keriput-keriput yang perlahan mulai memenuhi wajah cantiknya.
Hatiku
bagai teriris sembilu setiap mendengar ocehan yang keluar dari mulutnya..
Ibu
… andai kau tau betapa pedih perasaanku disaat kau mulai mengigau tak menentu.
Betapa
tak dapat kutahan air mataku setiap menghadapi kemanjaan yang tidak biasa kau
lakukan.
Wanita
yang terbaring lemah itu adalah ibuku, wanita yang terkulai tak berdaya itu
adalah pahlawanku
Wanita
yang sedang meringis kesakitan itu adalah malaikat tanpa sayapku.
Sudah
lebih dari lima tahun ini dia berjuang melawan penyakit kanker payudara yang
semakin hari semakin menggerogoti tubuhnya.
Ribuan
pengobatan sudah dijalani, namun tak jua dapat membebaskannya dari penyakit
yang sangat mengganas itu.
Aku
tiada merasa lelah mengurusnya..
Disetiap
malam-malam panjangku tak pernah absen ku hamparkan sajadahku memohon iba pada
Sang Ilahi Robbi agar menyembuhkan ibuku...
Ibuku
..
Ibu
yang separuh hidupnya berada dalam penderitaan yang tak berkesudahan..
Tiba-tiba
gawaiku berbunyi, rupanya ada chat masuk dari mas robi.
Mas
Robi adalah suamiku, suami yang dikirimkan Tuhan untukku, suami yang penuh
kasih sayang dan penuh pengertian, aku sangat bersyukur memilikinya.
Sayang...udah
makan?" Tanyanya."
Udah
Pa."balasku"
Aku
mengenal suamiku semasa kuliah dulu, kami sama-sama mengambil jurusan kimia. Masih
teringat dengan jelas semasa kuliah dulu bagaimana mas Robi memperjuangkan
cintaku.
Menerima
cinta mas Robi bukanlah hal mudah yang bisa aku lakukan, mas Robi hadir saat
hatiku terluka karena pengkhianatan kekasih yang sangat kucintai kala itu.
Terkadang
aku sering memamfaatkan kebaikannya dulu dan aku sangat menyesali itu.
Aku
yang awalnya sangat membencinya, perlahan-lahan mulai luluh karena kegigihannya
dalam memperjuangkan cintaku.
Kini
Mas Robi sudah menjadi suamiku, Dia merupakan sosok suami yang sangat baik, dia
selalu memperlakukanku bak seorang ratu dan aku sangat bahagia hidup
bersamanya.
Tiaa...Tiaa...tiba-tiba
ibu memanggil-manggil namaku.
Panggilan
dari ibuku membuyarkan lamunanku.
Aku
segera menghampirinya.
Ya
Bu, Tia ada disini."jawabku."
Sudahlah
nak tidur aja lagi, Ibumu hanya mengigau."Tutur bapak yang sedari tadi
menjaga Ibu.
Sambil
menguap dan megusap mataku yang masih mengantuk aku menengok ke arah ibuku,
ternyata benar saja ibuku hanya mengigau, matanya masih terpejam.
Aku
kemudian membaringkan kepalaku di dipan yang sengaja ku bawa dari rumah. Ku
miringkan posisi tidurku, mataku sepertinya sulit dipejamkan kembali.
Fikiranku
kembali melayang-melayang, ku pandangi langit-langit rumah sakit. Sinar redup
ruangan itu tak mampu membawa kembali rasa kantukku. Aku melirik jam
ditanganku, ternyata sudah pukul 03.00 pagi. Aku kemudian memutuskan untuk
mengambil air wudu’ dan mendirikan sholat Tahajud.
Dalam
sujud panjangku doa untuk kesembuhan buat ibuku tak henti terucap dari bibirku.
Namaku
Septia Larasati, aku biasa dipanggil Tia. Aku merupakan seorang guru Matematika
di sebuah sekolah negeri di salah satu daerah terpencil di wilayah Kalimantan.
Beberapa
hari ini aku terpaksa izin tidak bisa mengajar karena harus membawa ibuku pergi
berobat ke luar kota.
Menjadi
seorang guru bukanlah hal mudah bagiku. Latar belakang ekonomi kedua orang
tuaku yang rendah membuatku dulu terkadang berusaha mengubur mimpi-mimpiku
untuk bisa meneruskan pendidikanku ke tingkat yang lebih tinggi.
Anak
buruh cuci saja belagu mau kuliah.”ujar beberapa tetanggaku kala itu.”
Saat
itu ibuku hanya terdiam seribu bahasa mendengar hinaan dan pandangan rendah
mereka.
Beliau
hanya tersenyum dan berusaha tetap menyapa sambil berlalu dari hadapan mereka
setiap kata-kata menyakitkan itu beliau dengar.
Hingga
suatu hari saat aku sudah hampir putus asa dengan mimpi-mimpiku dari kejauhan
tampak ayahku setengah berlari-lari sambil membawa sepucuk surat.
Ibu…
ibu… teriak ayah.
Coba
lihat apa yang ayah bawa.
Ibu
yang sedang memasak segera keluar menemui ayah.
Surat
apa itu pak?” Tanya ibu penasaran.”
Ini
surat beasiswa untuk anak kita Tia bu, anak kita bisa kuliah gratis. “ucap ayah
terbata-bata menahan rasa haru dan bahagia yang luar biasa.”
Yang
benar pak? Ini bukan mimpi kan?” Tanya ibu dengan rasa tidak percaya.”
Ini
nyata bu bukan mimpi.”jawab ayah lagi.”
Mereka
berdua kemudian berpelukan dan sujud syukur bersama.
Rasa
bahagia yang dirasakan kedua orang tuaku waktu itu tidak bisa dilukiskan dengan
kata-kata. Bagaimana tidak impian mereka untuk melihatku melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi akan segera terwujud. Aku kala itu hanya bisa
menangis bahagia melihat kebahagiaan kedua orang tuaku, dalam hati aku bertekad
akan membuktikan kepada mereka yang menghina keluargaku bahwa aku bisa berhasil
menjadi seorang guru.
Anganku
kembali melayang-layang ke masa lalu, aku mendesah sambil menarik pelan nafasku.
Dalam
hidupku pahlawan yang sangat berarti dalam hidupku adalah ayah dan ibuku. Saat
ini aku hanya bisa memandang iba pada tubuh ibuku yang terbaring lemah tak
berdaya, tubuhnya begitu kurus, rambutnya tinggal beberapa helai saja.
Aku
mendesah pelan, ku pegang dadaku yang tiba-tiba terasa sesak. Air mata tak
dapat kutahan lagi, airnya mengalir deras membasahi kedua pipiku.
Ibuku
menderita sakit parah semenjak tahun 1998, Ibuku menderita penyakit kanker
payudara stadium empat. Kebanyakan tetangga beranggapan bahwa hidup ibuku tidak
akan bertahan lama.
Tapi
karena kuasa Tuhan ibuku akhirnya sembuh.
Namun,
sejak tahun 2019 ibuku menderita sakit yang lebih parah dari sebelumnya.
Aku
kasihan dengan ibuku, Tubuhnya selalu diserang penyakit. Padahal hatinya dulu juga
sering tersakiti oleh suami dan saudara kandungnya.
Aku
teringat waktu itu aku sedang menyandarkan kepalaku di pahanya. Sambil
mengusap-usap kepalaku ibuku mulai bercerita. Anakku ibu akan menceritakan
sesuatu padamu, ibu berharap dengan ibu menceritakan semua ini kamu akan dapat
memetik pelajaran berharga dalam hidupmu. “ucap ibu kala itu.”
Sambil
membelai kepalaku ibuku mulai bercerita.
Kala
itu, saat ibu mulai beranjak remaja ibu terpaksa memutuskan cepat menikah
karena kondisi hidup ibu yang kacau balau. Tiap hari dari pagi sampai sore ibu
harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga, dan semua hasil jerih payah ibu
yang menikmati saudara-saudara ibu.
Semakin
lama ibu merasa gak sanggup lagi sehingga ibu terpaksa mengambil keputusan itu,
Ibu memutuskan untuk menikah muda, ibu menikah agar bisa terbebas dari belenggu
penjajahan yang dilakukan justru oleh saudara-saudara ibu sendiri.
Singkat
cerita ibu menikah dengan ayahmu, pernikahan dilaksanakan dengan acara yang
cukup sederhana.
Setelah
menikah ibu dan ayahmu tinggal bersama kakek dan nenekmu. Tinggal bersama
dengan kakek dan nenekmu justru membuat hidup ibu makin menderita, hampir setiap
hari ibu harus menghadapi caci maki dari mereka karena ketidaksukaannya
terhadap ibu.
Ketika
kakakmu terlahir ke dunia ayah dan ibu memutuskan untuk merantau ke Dumai.
Di
perantauan ayahmu mencari nafkah dengan menarik becak delman sementara ibu
bekerja sebagai buruh cuci.
Ketika
asyik bercerita, tiba-tiba terdengar suara delman ayah. Nampaknya ayah sudah
pulang, ibu segera menyambut ayah dan bergegas ke dapur untuk menyuguhkan ayah
makanan.
Itulah
ibuku, dia adalah sosok wanita yang begitu taat pada suami, kasih sayangnya
menerangi kehidupan keluarga sederhana kami. Pelita dihatinya mampu
menghadirkan kedamaian dihati kami semua.
Ku
buka dan kulipat mukena yang kukenakan, aku keluar mencari segarnya udara pagi.
Ayah,
Tia jalan-jalan sebentar ya. Gak apa-apakan ayah menunggu ibu sendirian?.”Tanyaku
pada ayah.”
Tidak
apa-apa nak, pergilah biar ayah yang jaga ibumu.”jawab ayahku.”
Ku
langkahkan kakiku keluar dari pengapnya kamar rumah sakit, semilir dan
dinginnya angin di pagi buta terasa menyelami wajah dan tulang-tulang sendiku. Ku
duduk di sebuah kursi taman yang tidak jauh berada di taman rumah sakit. Aku
kembali termenung, angan kembali membawaku ke masa lalu yang begitu membekas
diingatanku.
Ayah
dan Ibu, Mereka berdua kebanggaanku, mereka bekerja tanpa kenal lelah demi
mencari biaya untuk pendidikanku dan pendidikan kakakku.
Waktu
berlalu tanpa mau berhenti, tak terasa puluhan purnama terlewati. Malam-malam
indah dilalui oleh ayah ibuku meski hidup dalam keprihatinan.
Waktu
itu aku belum lahir.
Suatu
hari, ditengah sejuknya semilir angin pagi, ditengah hangatnya sapaan ayah
untuk ibuku, ditengah hangatnya pelukan ayahku untuk kakakku, tiba-tiba suara
klakson motor berwarna orange membuyarkan kehangatan mereka.
Ayah
bergegas menghampiri tukang pos itu. Ternyata surat yang datang adalah surat
dari orang tua ayahku di kampung.
Bu...ini
ada surat dari bapak, sepertinya ini dari kampung, minta tolong dibacakan
ya."pinta ayah pada ibu."
Bentar
pak ibu mau jemur pakaian dulu."sahut ibuku dari halaman depan
rumah."
Ya
sudah kalau begitu biar bapak baca langsung aja ya." Pinta ayahku."
Ya
pak." Jawab ibuku."
Perlahan
tangan kekar ayah mulai membuka amplop yang melekat di surat itu,
berlahan-lahan ayahku membuka lipatannya. Setelah dibuka ternyata isi suratnya
adalah meminta ayah segera pulang karena orang tua ayahku sedang sakit keras.
Tangan ayah gemetaran membaca surat itu, dia lalu masuk ke kamar tanpa berkata
sepatah katapun.
Malam
harinya Ayahku menyampaikan dan meminta izin untuk pulang kampung menengok sang
ayah. Ibuku tentu saja tidak melarang karena beliau adalah sosok wanita yang
sangat menghormati kedua orang tua ayahku.
Ibu
gak ikut?" Tanya ayah waktu itu"
Bapak
pergi saja sendiri, Rina kan harus sekolah.
."jawab
ibuku waktu itu."
Ya
sudah kalau gitu, ibu ama Putri ayah yang cantik baik-baik dirumah ya."ucap
ayahku sambil mengecup kening ibu dan kening kak Rina."
Esok
harinya setelah semua persiapan beres, Ayahku pulang sendiri tanpa membawa
ibuku.
Ibu,
Rina, bapak pamit ya.
Rina
adalah nama kakak perempuanku.
Ya
pak hati-hati dijalan." Jawab ibuku sedih."
Setelah
menempuh perjalanan sekitar 4 jam akhirnya ayahku tiba dikampung tempat tinggal
orang tuanya.
Setibanya
di depan pintu rumah, ayah lalu mengucapkan salam.
Tok
tok Assalaamualaikum.”Ucap ayah.”
Waalaikum
Salam.”sahut seseorang dari dalam rumah.”
Ayah
lalu memasuki rumah, alangkah terkejutnya ayah mendapati kondisi bapaknya sehat
walafiat. Pandangan ayah terhenti saat melihat seorang gadis yang sedang
terduduk sambal menunduk di ruang keluarga.
Dalam
kebimbangan hati dan berkecamuk bermacam-macam pertanyaan, Ayah berusaha meminta
penjelasan dari sang kakek.
Duduklah
Nak.”pinta kakekku waktu itu.”
Maafkan
ayah jika membohongimu, maksud bapak memintamu segera pulang adalah ingin
menikahkanmu dengan perempuan janda beranak satu anak pamanmu yang sudah lama
merantau di Malaysia. Dia merupakan adik bapak yang terakhir, sebelum kamu
lahir dia sudah merantau ke Malaysia meninggalkan istri dan anak yang masih
kecil. Bertahun-tahun Pamanmu tiada khabar dan berita. Kakek berhenti sejenak
berbicara, kemudian setelah menarik nafas panjang dia kembali melanjutkan
ceritanya. Satu bulan yang lalu bapak menerima khabar dari KBRI Malaysia
kalau pamanmu telah meninggal dunia
disana karena sakit. Tak lama setelah itu ibunya menyusul meninggalkan anaknya
sebatang kara.
Ayah
tidak tega melihatnya hidup sendirian di dunia ini, hanya kamu harapan ayah
satu-satunya untuk menjaganya.
Ayahku
hanya bisa terdiam seribu bahasa mendengar penuturan sang ayah. Perintah sang
ayah merupakan titah yang tidak bisa dia bantah.
Ayahku
tidak bisa berbuat apa-apa, pernikahan akhirnya dilangsungkan tanpa sepengetahuan
ibuku. Pernikahan dilangsungkan dengan sangat sederhana, hanya dihadiri kerabat
terdekat.
Setelah
satu bulan melangsungkan pernikahan, ayahku memutuskan untuk kembali ke Dumai
dengan membawa serta perempuan yang dinikahinya.
Sesampainya
di Dumai, ayah dengan ragu-ragu mempersilahkan wanita yang dinikahinya menuju
kerumahku.
Sementara
itu ibu yang sedari tadi menunggu kepulangan ayah seketika pucat pasi melihat
ayah pulang bersama seorang wanita. Hati ibuku sudah tak karuan, perasaannya
semakin tak menentu. Dihatinya timbul pertanyaan siapakah perempuan yang dibawa
ayahku.
Saat
itu aku memang belum lahir, hanya ada kak Rina.
Setelah
bersalaman ibu lalu menanyakan ke ayahku siapa perempuan yang dibawanya. Ayah lalu
menjawab kalau perempuan itu adalah sepupunya tanpa berani menatap mata ibu.
Ayah
kemudian meminta izin pada ibuku agar memperbolehkan wanita itu tinggal
dirumah. Walau terasa berat dan masih banyak pertanyaan yang ingin di
ungkapkan, akhirnya ibuku mengangguk lemah tanda setuju.
Kelebihan
seorang istri yang diberikan oleh Tuhan adalah memiliki insting yang kuat
ketika ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya.Walau sudah berusaha menghilangkan,
tapi firasat ibu tentang hubungan antara ayah dan perempuan itu semakin kuat.
Suatu
hari …
Di
tengah malam buta, hujan turun dengan begitu lebatnya, suara petir menggelegar
serasa memekikkan telinga, kilatan sinar petir yang berkilat sejenak mampu
menerangi suasan alam semesta yang gelap gulita.
Suara
petir yang menggelegar mampu membangunkan lelapnya tidur ibuku, sayup-sayup ibu
seperti mendengar ada seseorang yang sedang menangis. Ketika meraba tubuh
ayah,ibu mendapati ayah sudah tidak ada disampingnya. Seketika perasaan ibuku
berkecamuk tak menentu, ibu terbangun dan mulai mengendap-endap mencari arah
suara tangis tadi.
Suara
tangisan itu semakin jelas terdengar ketika mendekati kamar perempuan itu, ibu
mengintip di balik papan kamar. Ibuku melihat tangan ayah mengelap mesra air
mata perempuan itu, ibu juga melihat ayah memeluk perempuan itu seperti sedang
menenangkan.
Walau
perasaan ibuku kala itu hancur lebur tapi ibu berusaha menahan diri agar tidak
terjadi keributan dan merasa malu jika sampai tetangga mendengar keributan itu.
Ibu
memilih kembali ke kamar lagi dengan perasaan yan begitu sakit, air mata tiada
henti mengalir deras dari pipinya.
Entah
berapa lama ibuku menangis sampai terlelap, esok paginya dia sudah tidak
mendapati ayah dan perempuan itu di rumah. Berdasarkan pengakuan salah satu
tetanggaku ternyata ayah dan perempuan itu pulang kampung lagi tanpa terlebih
dahulu meminta izin pada ibu.
Perasaan
ibu begitu terluka, dia tidak menyangka ayah akan tega mengkhianatinya.
Ibu
mondar-mandir di dalam rumah, kakakku hanya bengong melihat tingkah ibu.
Ketika
malam mulai menyapa, hujan kembali menurunkan airnya ke muka bumi. Walau tak
menciptakan sendu tapi mampu membuat suasana hati ibuku semakin hancur.
Hati
ibu gelisah tak menentu, ibuku sudah tidak tahan lagi, dia lalu memutuskan
untuk mencari ayah di kampung halamannya, sementara kakakku Rina dia titipkan
di salah satu tetangga.
Ibuku
yakin ayah dan perempuan itu ada di sana. Nampaknya ayah mencium kehadiran ibu saat
itu, lalu mereka ayah dan perempuan itu segera kabur dari jendela untuk pergi
sembunyi.
Ibu
berteriak sambil menangis, melihat kondisi ibu seperti itu para tetangga mulai berdatangan
dan menenangkannya, mereka merasa kasihan melihat kondisi ibuku yang kacau
balau.
Sabar
bu, laki-laki seperti itu gak usah dipertahankan, lepaskan saja, ibu masih muda
dan cantik, ibu pasti bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari
suami ibu itu.”Hibur para tetangga waktu itu.”
Ibu
hanya bisa menangis tersedu-sedu mendengar kata-kata mereka. Setiap kalimat
yang terucap dari tak mampu mengobati hatinya yang begitu terluka.
Esok
harinya ketika ibu memutuskan untuk kembali ke Dumai, tiba-tiba ayah muncul
dihadapan ibu. Ayah berusaha mengajak ibu ngomong baik-baik dan meminta
pengertian ibuku.
Saat
itu ibuku hanya memberi dua pilihan pada ayah, memilih dia atau perempuan yang
baru dinikahi ayah. Ibuku gak mau dimadu.
Tanpa
diduga, ayah justru memilih istri mudanya.
Hati
ibu hancur berkeping-keping, separuh jiwanya terenggut secara paksa, bumi
seolah berguncang tak berpijak. Luka hati seolah bernanah tak mencair. Ibu
seperti kehilangan arah.
Demi
menjaga kewarasannya, Ibu memutuskan kembali ke Dumai agar tak lagi melihat
ayah bersama perempuan itu.
Sesampai
di Dumai ibu mencari Rina kakakku, ibu memeluk Rina dengan begitu erat,
tangisnya pecah tak tertahankan.
Malam-malam
dilalui ibu dengan hati berkabut duka dan kecewa, ibu bertahan demi kakakku.
Tiga
purnama terlewati, berlahan-lahan ibu mulai menata hatinya.
Waktupun
berlalu tanpa mau menengok kembali, saat itu ketika ibu baru saja selesai
mencuci baju para langganannya, tiba-tiba dari kejauhan nampak sosok ayah datang
ke rumah sambil membawa perempuan itu kembali.
Rupanya
kerinduan ayah terhadap kakakku sudah tidak mampu dia bendung lagi. Ayah sangat
menyayangi kakakku.
Dia
kembali ke Dumai ternyata untuk menjenguk kakakku. Saat itu kakakku memang
masih balita, lagi gemes-gemesnya.
Ibu
mempersilahkan ayah menemui kakakku, saat ayah dan perempuan itu bermain-main
dan bercengkrama ibu memutuskan untuk meninggalkan mereka ke rumah temannya. Hati
ibu tidak sanggup melihat kebersamaan mereka.
Sambil
duduk ayah memandangi kelucuan dan tingkah laku kakakku yang begitu
menggemaskan. Terngiang kembali ditelinganya nasehat tetangga di kampung.
Lihat
anakmu sepintar dan selucu ini kau lepas dan kau malah kasih makan anak orang yang
bukan darah dagingmu.
Nasehat
itu terus terngiang-ngiang dan menghantui benak ayahku. Kemudian ayah
memutuskan untuk kembali ke pelukan ibuku. Ayah lalu mencari ibuku, ayah lalu mengutarakan
isi hatinya.
Dengan
tatapan tajam dan kata-kata yang menghujam, ibu berkata lantang ke ayahku.
Aku
bersedia kembali kepadamu tapi dengan syarat ceraikan perempuan itu dan biarkan
dia pulang sendiri ke kampung jangan diantar pulang. Rupanya sakit hati dan
dendam yang selama ini bersemayam dihati ibuku belum sepenuhnya beranjak pergi.
Ibu berharap perempuan itu terlunta-lunta di Dumai karena Dumai adalah daerah
baru baginya. Ibuku merasa hal ini tidak sepadan dengan sakit hati yang dia
rasakan dulu.
Akhirnya
ayah memenuhi syarat dari ibuku.
Ibu
dan ayahku akhirnya bersatu kembali. Tapi luka di hati ibu belum sepenuhnya
sembuh, Namun, demi sang buah hati, berlahan-lahan akhirnya ibu mencoba membuka
hati kembali hingga akupun terlahir di dunia ini sebagai anak kedua dari ibu
dan ayahku.
Aku
ingat waktu itu Ibu bercerita dengan menggebu-gebu tentang perselingkuhan ayah, Tapi kini ibu
sudah tidak merasakan sakit hati lagi, kini mereka berdua benar-benar saling
mencintai tanpa kehadiran orang ketiga dalam rumah tangganya.
Saat
itu yang sakit hati justru aku, aku bilang pada ibuku, kenapa ibu dulu bodoh
sekali mau memaafkan dan menerima ayah kembali.
Dengan
senyum ibu menjawab celotehanku.
Ya
ibu ngaku ibu dulu bodoh kenapa harus memaafkan dan menerima ayahmu kembali,
tapi seandainya ibu tidak menerima ayahmu kembali kamu tidak akan terlahir ke
dunia ini. “Ucap ibuku tertawa.”
Benar
juga ya bu.”Sahutku sambil tertawa juga.”
Keputusan
ibu untuk memaafkan dan menerima ayah kembali merupakan keputusan yang sangat
tepat, Kini Ayah benar-benar mencintai kami, ayah tak pernah kenal lelah
merawat ibu di saat ibu sedang sakit parah seperti ini. Di usia yang mendekati
senja kemesraan mereka berdua kadang membuat iri seisi dunia.
Ayah
juga beberapa kali minta maaf kepada aku dan kakakku atas perselingkuhan yang
pernah dia lakukan dulu.
Lantunan
suara azan subuh membuyarkan lamunanku. Aku bergegas kembali ke kamar rumah
sakit dimana ibuku terbaring, Nampak ayah tertidur terduduk sambil
menelungkupkan wajahnya. Walau berusaha disembunyikan wajah lelahnya terlihat
jelas saat terlelap begini. Aku mendesah sambil menelan ludah. Ya Allah
lindungilah kedua orang tuaku, sehatkan dan panjangkanlah umur mereka berdua
agar aku bisa membahagiakan mereka sampai diusia senjanya. “Doaku dalam hati.”
Tidak
terasa sudah satu bulan ibu dirawat di rumah sakit, aku sempat jatuh sakit
karena kelelahan harus bolak-balik rumah sakit dan ke lokasi mengajar yang
lokasinya lumayan jauh.
Kondisi
ibu tidak mengalami perubahan yang berarti, aku, ayah dan kakakku bergantian
menjaganya. Terkadang suamiku juga ikut menginap jika giliranku yang jaga.
Akhir-akhir
ini sikap ibu semakin manja, hampir setiap hari hanya aku yang dicarinya,
sesaat saja aku tak ada disampingnya dia akan merajuk dan menyalahkan merasa
tidak diperhatikan dan disayangi.
Aku
menitikkan air mata, ibuku sudah tidak sekuat dan setangguh dulu. Badannya pun
lemah tak berdaya.
Hari
itu, suasana tenang dan syahdu begitu menentramkan hati, semesta bergemuruh
riuh rindu menyambut datangnya bulan suci nan mulia. Aku bergegas membereskan
barang-barang keperluan yang akan kubawa ke rumah sakit. Dari tadi pagi ayah
menelfon mengabarkan kondisi ibu yang semakin parah. Hatiku semakin tak
menentu, mas Robi mengantarkanku sampai ke Lobi rumah sakit, dia tidak sempat
turun karena ada tamu dari pusat yang sedang menuju ke sekolahnya untuk
membicarakan sebuah proyek penting.
Aku
langsung menuju kamar dimana ibuku dirawat, Nampak ayah terduduk lemas dengan
wajah yang begitu memilukan hatiku. Terlihat ibuku, matanya terpejam begitu
indah, aku segera mengambil alquran dan mengaji di sampingnya. Aku berusaha
menuntun ibuku agar bisa melapazkan kalimat tauhid di akhir nafasnya, sementara
itu alat pendeteksi jantung semakin lama iramanya semakin melemah. Hatiku
menjerit, jiwaku terguncang, aku sakit melihat kondisi ibuku, air mata berusaha
kutahan agar tak membasahi pipiku. Ku bisikkan kalimat tauhid ditelinga ibuku, Lalu
dengan suara terbata-bata menahan tangis ku katakana padanya.”Ibu…Tia, Ayah, dan
Kak Rina sudah ikhlas kok kalau memang ibu mau pergi, ibu sudah lelah ya, ibu
sudah capek ya menahan sakit ini. Demi Allah kami sudah ikhlas bu, kami sayang ibu
tapi mungkin Allah jauuh lebih sayang sama ibu, aku liat mata ibuku menitikkan
air mata.
Tiba-tiba
suara alat pendetak jantung berbunyi, Nampak garis lurus terpampang nyata di
monitor. Setengah berteriak aku memanggil dokter, seketika suasana panik
menyelimuti.
Dokter
kemudian memeriksa ibuku, berbagai usaha sudah dilakukan. Ternyata ibuku sudah
tidak bisa diselamatkan, dia sudah pergi dengan tenang meninggalkan kami yang
begitu mencintainya.
Tubuhku
lunglai, kaki seolah tak mampu berpijak, dunia terasa berputar dan kemudian
gelap.
Saat
terbangun aku sudah berada di rumah, sementara itu para pelayat
berbondong-bondong mendatangi rumah kami seraya mengucapkan duka cita.
Ayah
Nampak tabah di depan jasad ibu.
Waktu
berlalu, detik demi detik tak terasa meninggalkan sejumput kenangan yang
terpatri di hati, awan hitam bergelantungan manja di awan. Suasana mendung
namun tak mencipta hujan yang bercucur. Suara takbir menggema dimana-mana,
menandakan hari kemenangan telah tiba. Hati terasa sepi tak terkira, menyambut
Idul fitri pertama kali tanpa kehadiran ibu.
Tak
terasa dua tahun sudah ibu meninggalkan kami, hari ini sebelum aku melangkahkan
kakiku di kantor dinas untuk dilantik menjadi kepala sekolah, aku menyekar ke
makam ibuku. Aku ditemani putri kecilku yang masih belia, putri yang selama ini
begitu dirindukan olehku dan mas Robi dan tentu saja oleh ibuku. Sebulan
setelah kepergian ibu, aku dinyatakan positif hamil. Wajah Putriku sangat mirip
dengan ibuku, aku melihat ibuku dalam dirinya, namanya pun kuberikan nama yang
sama seperti nama ibuku.
Kutaburi
makam ibuku dengan bunga melati, aroma harum semerbak mewangi mulai terhirup.
Ku kirimkan doa terbaik untuknya.
Ibu,
hari ini Tia mau dilantik jadi kepala sekolah. Doakan Tia ya agar bisa menjadi
pemimpin yang amanah dan membawa mamfaat.
Tia
sudah mewujudkan mimpi-mimpi ibu agar Tia menjadi orang yang sukses. Tia rindu
ibu…
Ku
cium batu nisannya, air mata tak dapat kubendung lagi. Cucurannya mengalir deras
membasahi kedua pipiku.
Ibu…
Aku
yakin saat ini engkau sedang tersenyum melihatku, aku yakin saat ini engkau
bangga dengan kesuksesanku.
Aku
mencintaimu ibu, semoga Tuhan menempatkan engkau di tempat yang terbaik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar