Sabtu, 02 April 2022

CINTA TAK TERPERI BUATMU IBU

 

Aku terpaku memandang wajah pucat itu,

Aku termangu menatap keriput-keriput yang perlahan mulai memenuhi wajah cantiknya.

Hatiku bagai teriris sembilu setiap mendengar ocehan yang keluar dari mulutnya..

Ibu … andai kau tau betapa pedih perasaanku disaat kau mulai mengigau tak menentu.

Betapa tak dapat kutahan air mataku setiap menghadapi kemanjaan yang tidak biasa kau lakukan.

Wanita yang terbaring lemah itu adalah ibuku, wanita yang terkulai tak berdaya itu adalah pahlawanku

Wanita yang sedang meringis kesakitan itu adalah malaikat tanpa sayapku.

Sudah lebih dari lima tahun ini dia berjuang melawan penyakit kanker payudara yang semakin hari semakin menggerogoti tubuhnya.

Ribuan pengobatan sudah dijalani, namun tak jua dapat membebaskannya dari penyakit yang sangat mengganas itu.

Aku tiada merasa lelah mengurusnya..

Disetiap malam-malam panjangku tak pernah absen ku hamparkan sajadahku memohon iba pada Sang Ilahi Robbi agar menyembuhkan ibuku...

Ibuku ..

Ibu yang separuh hidupnya berada dalam penderitaan yang tak berkesudahan..

Tiba-tiba gawaiku berbunyi, rupanya ada chat masuk dari mas robi.

Mas Robi adalah suamiku, suami yang dikirimkan Tuhan untukku, suami yang penuh kasih sayang dan penuh pengertian, aku sangat bersyukur memilikinya.

Sayang...udah makan?" Tanyanya."

Udah Pa."balasku"

Aku mengenal suamiku semasa kuliah dulu, kami sama-sama mengambil jurusan kimia. Masih teringat dengan jelas semasa kuliah dulu bagaimana mas Robi memperjuangkan cintaku.

Menerima cinta mas Robi bukanlah hal mudah yang bisa aku lakukan, mas Robi hadir saat hatiku terluka karena pengkhianatan kekasih yang sangat kucintai kala itu.

Terkadang aku sering memamfaatkan kebaikannya dulu dan aku sangat menyesali itu.

Aku yang awalnya sangat membencinya, perlahan-lahan mulai luluh karena kegigihannya dalam memperjuangkan cintaku.

Kini Mas Robi sudah menjadi suamiku, Dia merupakan sosok suami yang sangat baik, dia selalu memperlakukanku bak seorang ratu dan aku sangat bahagia hidup bersamanya.

Tiaa...Tiaa...tiba-tiba ibu memanggil-manggil namaku.

Panggilan dari ibuku membuyarkan lamunanku.

Aku segera menghampirinya.

Ya Bu, Tia ada disini."jawabku."

Sudahlah nak tidur aja lagi, Ibumu hanya mengigau."Tutur bapak yang sedari tadi menjaga Ibu.

Sambil menguap dan megusap mataku yang masih mengantuk aku menengok ke arah ibuku, ternyata benar saja ibuku hanya mengigau, matanya masih terpejam.

Aku kemudian membaringkan kepalaku di dipan yang sengaja ku bawa dari rumah. Ku miringkan posisi tidurku, mataku sepertinya sulit dipejamkan kembali.

Fikiranku kembali melayang-melayang, ku pandangi langit-langit rumah sakit. Sinar redup ruangan itu tak mampu membawa kembali rasa kantukku. Aku melirik jam ditanganku, ternyata sudah pukul 03.00 pagi. Aku kemudian memutuskan untuk mengambil air wudu’ dan mendirikan sholat Tahajud.

Dalam sujud panjangku doa untuk kesembuhan buat ibuku tak henti terucap dari bibirku.

Namaku Septia Larasati, aku biasa dipanggil Tia. Aku merupakan seorang guru Matematika di sebuah sekolah negeri di salah satu daerah terpencil di wilayah Kalimantan.

Beberapa hari ini aku terpaksa izin tidak bisa mengajar karena harus membawa ibuku pergi berobat ke luar kota.

Menjadi seorang guru bukanlah hal mudah bagiku. Latar belakang ekonomi kedua orang tuaku yang rendah membuatku dulu terkadang berusaha mengubur mimpi-mimpiku untuk bisa meneruskan pendidikanku ke tingkat yang lebih tinggi.

Anak buruh cuci saja belagu mau kuliah.”ujar beberapa tetanggaku kala itu.”

Saat itu ibuku hanya terdiam seribu bahasa mendengar hinaan dan pandangan rendah mereka.

Beliau hanya tersenyum dan berusaha tetap menyapa sambil berlalu dari hadapan mereka setiap kata-kata menyakitkan itu beliau dengar.

Hingga suatu hari saat aku sudah hampir putus asa dengan mimpi-mimpiku dari kejauhan tampak ayahku setengah berlari-lari sambil membawa sepucuk surat.

Ibu… ibu… teriak ayah.

Coba lihat apa yang ayah bawa.

Ibu yang sedang memasak segera keluar menemui ayah.

Surat apa itu pak?” Tanya ibu penasaran.”

Ini surat beasiswa untuk anak kita Tia bu, anak kita bisa kuliah gratis. “ucap ayah terbata-bata menahan rasa haru dan bahagia yang luar biasa.”

Yang benar pak? Ini bukan mimpi kan?” Tanya ibu dengan rasa tidak percaya.”

Ini nyata bu bukan mimpi.”jawab ayah lagi.”

Mereka berdua kemudian berpelukan dan sujud syukur bersama.

Rasa bahagia yang dirasakan kedua orang tuaku waktu itu tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Bagaimana tidak impian mereka untuk melihatku melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi akan segera terwujud. Aku kala itu hanya bisa menangis bahagia melihat kebahagiaan kedua orang tuaku, dalam hati aku bertekad akan membuktikan kepada mereka yang menghina keluargaku bahwa aku bisa berhasil menjadi seorang guru.

Anganku kembali melayang-layang ke masa lalu, aku mendesah sambil menarik pelan nafasku.

Dalam hidupku pahlawan yang sangat berarti dalam hidupku adalah ayah dan ibuku. Saat ini aku hanya bisa memandang iba pada tubuh ibuku yang terbaring lemah tak berdaya, tubuhnya begitu kurus, rambutnya tinggal beberapa helai saja.

Aku mendesah pelan, ku pegang dadaku yang tiba-tiba terasa sesak. Air mata tak dapat kutahan lagi, airnya mengalir deras membasahi kedua pipiku.

Ibuku menderita sakit parah semenjak tahun 1998, Ibuku menderita penyakit kanker payudara stadium empat. Kebanyakan tetangga beranggapan bahwa hidup ibuku tidak akan bertahan lama.

Tapi karena kuasa Tuhan ibuku akhirnya sembuh.

Namun, sejak tahun 2019 ibuku menderita sakit yang lebih parah dari sebelumnya.

Aku kasihan dengan ibuku, Tubuhnya selalu diserang penyakit. Padahal hatinya dulu juga sering tersakiti oleh suami dan saudara kandungnya.

Aku teringat waktu itu aku sedang menyandarkan kepalaku di pahanya. Sambil mengusap-usap kepalaku ibuku mulai bercerita. Anakku ibu akan menceritakan sesuatu padamu, ibu berharap dengan ibu menceritakan semua ini kamu akan dapat memetik pelajaran berharga dalam hidupmu. “ucap ibu kala itu.”

Sambil membelai kepalaku ibuku mulai bercerita.

Kala itu, saat ibu mulai beranjak remaja ibu terpaksa memutuskan cepat menikah karena kondisi hidup ibu yang kacau balau. Tiap hari dari pagi sampai sore ibu harus bekerja menjadi tulang punggung keluarga, dan semua hasil jerih payah ibu yang menikmati saudara-saudara ibu.

Semakin lama ibu merasa gak sanggup lagi sehingga ibu terpaksa mengambil keputusan itu, Ibu memutuskan untuk menikah muda, ibu menikah agar bisa terbebas dari belenggu penjajahan yang dilakukan justru oleh saudara-saudara ibu sendiri.

Singkat cerita ibu menikah dengan ayahmu, pernikahan dilaksanakan dengan acara yang cukup sederhana.

Setelah menikah ibu dan ayahmu tinggal bersama kakek dan nenekmu. Tinggal bersama dengan kakek dan nenekmu justru membuat hidup ibu makin menderita, hampir setiap hari ibu harus menghadapi caci maki dari mereka karena ketidaksukaannya terhadap ibu.

Ketika kakakmu terlahir ke dunia ayah dan ibu memutuskan untuk merantau ke Dumai.

Di perantauan ayahmu mencari nafkah dengan menarik becak delman sementara ibu bekerja sebagai buruh cuci.

Ketika asyik bercerita, tiba-tiba terdengar suara delman ayah. Nampaknya ayah sudah pulang, ibu segera menyambut ayah dan bergegas ke dapur untuk menyuguhkan ayah makanan.

Itulah ibuku, dia adalah sosok wanita yang begitu taat pada suami, kasih sayangnya menerangi kehidupan keluarga sederhana kami. Pelita dihatinya mampu menghadirkan kedamaian dihati kami semua.

Ku buka dan kulipat mukena yang kukenakan, aku keluar mencari segarnya udara pagi.

Ayah, Tia jalan-jalan sebentar ya. Gak apa-apakan ayah menunggu ibu sendirian?.”Tanyaku pada ayah.”

Tidak apa-apa nak, pergilah biar ayah yang jaga ibumu.”jawab ayahku.”

Ku langkahkan kakiku keluar dari pengapnya kamar rumah sakit, semilir dan dinginnya angin di pagi buta terasa menyelami wajah dan tulang-tulang sendiku. Ku duduk di sebuah kursi taman yang tidak jauh berada di taman rumah sakit. Aku kembali termenung, angan kembali membawaku ke masa lalu yang begitu membekas diingatanku.

Ayah dan Ibu, Mereka berdua kebanggaanku, mereka bekerja tanpa kenal lelah demi mencari biaya untuk pendidikanku dan pendidikan kakakku.

Waktu berlalu tanpa mau berhenti, tak terasa puluhan purnama terlewati. Malam-malam indah dilalui oleh ayah ibuku meski hidup dalam keprihatinan.

Waktu itu aku belum lahir.

Suatu hari, ditengah sejuknya semilir angin pagi, ditengah hangatnya sapaan ayah untuk ibuku, ditengah hangatnya pelukan ayahku untuk kakakku, tiba-tiba suara klakson motor berwarna orange membuyarkan kehangatan mereka.

Ayah bergegas menghampiri tukang pos itu. Ternyata surat yang datang adalah surat dari orang tua ayahku di kampung.

Bu...ini ada surat dari bapak, sepertinya ini dari kampung, minta tolong dibacakan ya."pinta ayah pada ibu."

Bentar pak ibu mau jemur pakaian dulu."sahut ibuku dari halaman depan rumah."

Ya sudah kalau begitu biar bapak baca langsung aja ya." Pinta ayahku."

Ya pak." Jawab ibuku."

Perlahan tangan kekar ayah mulai membuka amplop yang melekat di surat itu, berlahan-lahan ayahku membuka lipatannya. Setelah dibuka ternyata isi suratnya adalah meminta ayah segera pulang karena orang tua ayahku sedang sakit keras. Tangan ayah gemetaran membaca surat itu, dia lalu masuk ke kamar tanpa berkata sepatah katapun.

Malam harinya Ayahku menyampaikan dan meminta izin untuk pulang kampung menengok sang ayah. Ibuku tentu saja tidak melarang karena beliau adalah sosok wanita yang sangat menghormati kedua orang tua ayahku.

Ibu gak ikut?" Tanya ayah waktu itu"

Bapak pergi saja sendiri, Rina kan harus sekolah.

."jawab ibuku waktu itu."

Ya sudah kalau gitu, ibu ama Putri ayah yang cantik baik-baik dirumah ya."ucap ayahku sambil mengecup kening ibu dan kening kak Rina."

Esok harinya setelah semua persiapan beres, Ayahku pulang sendiri tanpa membawa ibuku.

Ibu, Rina, bapak pamit ya.

Rina adalah nama kakak perempuanku.

Ya pak hati-hati dijalan." Jawab ibuku sedih."

Setelah menempuh perjalanan sekitar 4 jam akhirnya ayahku tiba dikampung tempat tinggal orang tuanya.

Setibanya di depan pintu rumah, ayah lalu mengucapkan salam.

Tok tok Assalaamualaikum.”Ucap ayah.”

Waalaikum Salam.”sahut seseorang dari dalam rumah.”

Ayah lalu memasuki rumah, alangkah terkejutnya ayah mendapati kondisi bapaknya sehat walafiat. Pandangan ayah terhenti saat melihat seorang gadis yang sedang terduduk sambal menunduk di ruang keluarga.

Dalam kebimbangan hati dan berkecamuk bermacam-macam pertanyaan, Ayah berusaha meminta penjelasan dari sang kakek.

Duduklah Nak.”pinta kakekku waktu itu.”

Maafkan ayah jika membohongimu, maksud bapak memintamu segera pulang adalah ingin menikahkanmu dengan perempuan janda beranak satu anak pamanmu yang sudah lama merantau di Malaysia. Dia merupakan adik bapak yang terakhir, sebelum kamu lahir dia sudah merantau ke Malaysia meninggalkan istri dan anak yang masih kecil. Bertahun-tahun Pamanmu tiada khabar dan berita. Kakek berhenti sejenak berbicara, kemudian setelah menarik nafas panjang dia kembali melanjutkan ceritanya. Satu bulan yang lalu bapak menerima khabar dari KBRI Malaysia kalau  pamanmu telah meninggal dunia disana karena sakit. Tak lama setelah itu ibunya menyusul meninggalkan anaknya sebatang kara.

Ayah tidak tega melihatnya hidup sendirian di dunia ini, hanya kamu harapan ayah satu-satunya untuk menjaganya.

Ayahku hanya bisa terdiam seribu bahasa mendengar penuturan sang ayah. Perintah sang ayah merupakan titah yang tidak bisa dia bantah.

Ayahku tidak bisa berbuat apa-apa, pernikahan akhirnya dilangsungkan tanpa sepengetahuan ibuku. Pernikahan dilangsungkan dengan sangat sederhana, hanya dihadiri kerabat terdekat.

Setelah satu bulan melangsungkan pernikahan, ayahku memutuskan untuk kembali ke Dumai dengan  membawa serta perempuan yang dinikahinya.

Sesampainya di Dumai, ayah dengan ragu-ragu mempersilahkan wanita yang dinikahinya menuju kerumahku.

Sementara itu ibu yang sedari tadi menunggu kepulangan ayah seketika pucat pasi melihat ayah pulang bersama seorang wanita. Hati ibuku sudah tak karuan, perasaannya semakin tak menentu. Dihatinya timbul pertanyaan siapakah perempuan yang dibawa ayahku.

Saat itu aku memang belum lahir, hanya ada kak Rina.

Setelah bersalaman ibu lalu menanyakan ke ayahku siapa perempuan yang dibawanya. Ayah lalu menjawab kalau perempuan itu adalah sepupunya tanpa berani menatap mata ibu.

Ayah kemudian meminta izin pada ibuku agar memperbolehkan wanita itu tinggal dirumah. Walau terasa berat dan masih banyak pertanyaan yang ingin di ungkapkan, akhirnya ibuku mengangguk lemah tanda setuju.

Kelebihan seorang istri yang diberikan oleh Tuhan adalah memiliki insting yang kuat ketika ada sesuatu yang disembunyikan oleh suaminya.Walau sudah berusaha menghilangkan, tapi firasat ibu tentang hubungan antara ayah dan perempuan itu semakin kuat.

Suatu hari …

Di tengah malam buta, hujan turun dengan begitu lebatnya, suara petir menggelegar serasa memekikkan telinga, kilatan sinar petir yang berkilat sejenak mampu menerangi suasan alam semesta yang gelap gulita.

Suara petir yang menggelegar mampu membangunkan lelapnya tidur ibuku, sayup-sayup ibu seperti mendengar ada seseorang yang sedang menangis. Ketika meraba tubuh ayah,ibu mendapati ayah sudah tidak ada disampingnya. Seketika perasaan ibuku berkecamuk tak menentu, ibu terbangun dan mulai mengendap-endap mencari arah suara tangis tadi.

Suara tangisan itu semakin jelas terdengar ketika mendekati kamar perempuan itu, ibu mengintip di balik papan kamar. Ibuku melihat tangan ayah mengelap mesra air mata perempuan itu, ibu juga melihat ayah memeluk perempuan itu seperti sedang menenangkan.

Walau perasaan ibuku kala itu hancur lebur tapi ibu berusaha menahan diri agar tidak terjadi keributan dan merasa malu jika sampai tetangga mendengar keributan itu.

Ibu memilih kembali ke kamar lagi dengan perasaan yan begitu sakit, air mata tiada henti mengalir deras dari pipinya.

Entah berapa lama ibuku menangis sampai terlelap, esok paginya dia sudah tidak mendapati ayah dan perempuan itu di rumah. Berdasarkan pengakuan salah satu tetanggaku ternyata ayah dan perempuan itu pulang kampung lagi tanpa terlebih dahulu meminta izin pada ibu.

Perasaan ibu begitu terluka, dia tidak menyangka ayah akan tega mengkhianatinya.

Ibu mondar-mandir di dalam rumah, kakakku hanya bengong melihat tingkah ibu.

Ketika malam mulai menyapa, hujan kembali menurunkan airnya ke muka bumi. Walau tak menciptakan sendu tapi mampu membuat suasana hati ibuku semakin hancur.

Hati ibu gelisah tak menentu, ibuku sudah tidak tahan lagi, dia lalu memutuskan untuk mencari ayah di kampung halamannya, sementara kakakku Rina dia titipkan di salah satu tetangga.

Ibuku yakin ayah dan perempuan itu ada di sana. Nampaknya ayah mencium kehadiran ibu saat itu, lalu mereka ayah dan perempuan itu segera kabur dari jendela untuk pergi sembunyi.

Ibu berteriak sambil menangis, melihat kondisi ibu seperti itu para tetangga mulai berdatangan dan menenangkannya, mereka merasa kasihan melihat kondisi ibuku yang kacau balau.

Sabar bu, laki-laki seperti itu gak usah dipertahankan, lepaskan saja, ibu masih muda dan cantik, ibu pasti bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari suami ibu itu.”Hibur para tetangga waktu itu.”

Ibu hanya bisa menangis tersedu-sedu mendengar kata-kata mereka. Setiap kalimat yang terucap dari tak mampu mengobati hatinya yang begitu terluka.

Esok harinya ketika ibu memutuskan untuk kembali ke Dumai, tiba-tiba ayah muncul dihadapan ibu. Ayah berusaha mengajak ibu ngomong baik-baik dan meminta pengertian ibuku.

Saat itu ibuku hanya memberi dua pilihan pada ayah, memilih dia atau perempuan yang baru dinikahi ayah. Ibuku gak mau dimadu.

Tanpa diduga, ayah justru memilih istri mudanya.

Hati ibu hancur berkeping-keping, separuh jiwanya terenggut secara paksa, bumi seolah berguncang tak berpijak. Luka hati seolah bernanah tak mencair. Ibu seperti kehilangan arah.

Demi menjaga kewarasannya, Ibu memutuskan kembali ke Dumai agar tak lagi melihat ayah bersama perempuan itu.

Sesampai di Dumai ibu mencari Rina kakakku, ibu memeluk Rina dengan begitu erat, tangisnya pecah tak tertahankan.

Malam-malam dilalui ibu dengan hati berkabut duka dan kecewa, ibu bertahan demi kakakku.

Tiga purnama terlewati, berlahan-lahan ibu mulai menata hatinya.

Waktupun berlalu tanpa mau menengok kembali, saat itu ketika ibu baru saja selesai mencuci baju para langganannya, tiba-tiba dari kejauhan nampak sosok ayah datang ke rumah sambil membawa perempuan itu kembali.

Rupanya kerinduan ayah terhadap kakakku sudah tidak mampu dia bendung lagi. Ayah sangat menyayangi kakakku.

Dia kembali ke Dumai ternyata untuk menjenguk kakakku. Saat itu kakakku memang masih balita, lagi gemes-gemesnya.

Ibu mempersilahkan ayah menemui kakakku, saat ayah dan perempuan itu bermain-main dan bercengkrama ibu memutuskan untuk meninggalkan mereka ke rumah temannya. Hati ibu tidak sanggup melihat kebersamaan mereka.

Sambil duduk ayah memandangi kelucuan dan tingkah laku kakakku yang begitu menggemaskan. Terngiang kembali ditelinganya nasehat tetangga di kampung.

Lihat anakmu sepintar dan selucu ini kau lepas dan kau malah kasih makan anak orang yang bukan darah dagingmu.

Nasehat itu terus terngiang-ngiang dan menghantui benak ayahku. Kemudian ayah memutuskan untuk kembali ke pelukan ibuku. Ayah lalu mencari ibuku, ayah lalu mengutarakan isi hatinya.

Dengan tatapan tajam dan kata-kata yang menghujam, ibu berkata lantang ke ayahku.

Aku bersedia kembali kepadamu tapi dengan syarat ceraikan perempuan itu dan biarkan dia pulang sendiri ke kampung jangan diantar pulang. Rupanya sakit hati dan dendam yang selama ini bersemayam dihati ibuku belum sepenuhnya beranjak pergi. Ibu berharap perempuan itu terlunta-lunta di Dumai karena Dumai adalah daerah baru baginya. Ibuku merasa hal ini tidak sepadan dengan sakit hati yang dia rasakan dulu.

Akhirnya ayah memenuhi syarat dari ibuku.

Ibu dan ayahku akhirnya bersatu kembali. Tapi luka di hati ibu belum sepenuhnya sembuh, Namun, demi sang buah hati, berlahan-lahan akhirnya ibu mencoba membuka hati kembali hingga akupun terlahir di dunia ini sebagai anak kedua dari ibu dan ayahku.

Aku ingat waktu itu Ibu bercerita dengan menggebu-gebu  tentang perselingkuhan ayah, Tapi kini ibu sudah tidak merasakan sakit hati lagi, kini mereka berdua benar-benar saling mencintai tanpa kehadiran orang ketiga dalam rumah tangganya.

Saat itu yang sakit hati justru aku, aku bilang pada ibuku, kenapa ibu dulu bodoh sekali mau memaafkan dan menerima ayah kembali.

Dengan senyum ibu menjawab celotehanku.

Ya ibu ngaku ibu dulu bodoh kenapa harus memaafkan dan menerima ayahmu kembali, tapi seandainya ibu tidak menerima ayahmu kembali kamu tidak akan terlahir ke dunia ini. “Ucap ibuku tertawa.”

Benar juga ya bu.”Sahutku sambil tertawa juga.”

Keputusan ibu untuk memaafkan dan menerima ayah kembali merupakan keputusan yang sangat tepat, Kini Ayah benar-benar mencintai kami, ayah tak pernah kenal lelah merawat ibu di saat ibu sedang sakit parah seperti ini. Di usia yang mendekati senja kemesraan mereka berdua kadang membuat iri seisi dunia.

Ayah juga beberapa kali minta maaf kepada aku dan kakakku atas perselingkuhan yang pernah dia lakukan dulu.

Lantunan suara azan subuh membuyarkan lamunanku. Aku bergegas kembali ke kamar rumah sakit dimana ibuku terbaring, Nampak ayah tertidur terduduk sambil menelungkupkan wajahnya. Walau berusaha disembunyikan wajah lelahnya terlihat jelas saat terlelap begini. Aku mendesah sambil menelan ludah. Ya Allah lindungilah kedua orang tuaku, sehatkan dan panjangkanlah umur mereka berdua agar aku bisa membahagiakan mereka sampai diusia senjanya. “Doaku dalam hati.”

Tidak terasa sudah satu bulan ibu dirawat di rumah sakit, aku sempat jatuh sakit karena kelelahan harus bolak-balik rumah sakit dan ke lokasi mengajar yang lokasinya lumayan jauh.

Kondisi ibu tidak mengalami perubahan yang berarti, aku, ayah dan kakakku bergantian menjaganya. Terkadang suamiku juga ikut menginap jika giliranku yang jaga.

Akhir-akhir ini sikap ibu semakin manja, hampir setiap hari hanya aku yang dicarinya, sesaat saja aku tak ada disampingnya dia akan merajuk dan menyalahkan merasa tidak diperhatikan dan disayangi.

Aku menitikkan air mata, ibuku sudah tidak sekuat dan setangguh dulu. Badannya pun lemah tak berdaya.

Hari itu, suasana tenang dan syahdu begitu menentramkan hati, semesta bergemuruh riuh rindu menyambut datangnya bulan suci nan mulia. Aku bergegas membereskan barang-barang keperluan yang akan kubawa ke rumah sakit. Dari tadi pagi ayah menelfon mengabarkan kondisi ibu yang semakin parah. Hatiku semakin tak menentu, mas Robi mengantarkanku sampai ke Lobi rumah sakit, dia tidak sempat turun karena ada tamu dari pusat yang sedang menuju ke sekolahnya untuk membicarakan sebuah proyek penting.

Aku langsung menuju kamar dimana ibuku dirawat, Nampak ayah terduduk lemas dengan wajah yang begitu memilukan hatiku. Terlihat ibuku, matanya terpejam begitu indah, aku segera mengambil alquran dan mengaji di sampingnya. Aku berusaha menuntun ibuku agar bisa melapazkan kalimat tauhid di akhir nafasnya, sementara itu alat pendeteksi jantung semakin lama iramanya semakin melemah. Hatiku menjerit, jiwaku terguncang, aku sakit melihat kondisi ibuku, air mata berusaha kutahan agar tak membasahi pipiku. Ku bisikkan kalimat tauhid ditelinga ibuku, Lalu dengan suara terbata-bata menahan tangis ku katakana padanya.”Ibu…Tia, Ayah, dan Kak Rina sudah ikhlas kok kalau memang ibu mau pergi, ibu sudah lelah ya, ibu sudah capek ya menahan sakit ini. Demi Allah kami sudah ikhlas bu, kami sayang ibu tapi mungkin Allah jauuh lebih sayang sama ibu, aku liat mata ibuku menitikkan air mata.

Tiba-tiba suara alat pendetak jantung berbunyi, Nampak garis lurus terpampang nyata di monitor. Setengah berteriak aku memanggil dokter, seketika suasana panik menyelimuti.

Dokter kemudian memeriksa ibuku, berbagai usaha sudah dilakukan. Ternyata ibuku sudah tidak bisa diselamatkan, dia sudah pergi dengan tenang meninggalkan kami yang begitu mencintainya.

Tubuhku lunglai, kaki seolah tak mampu berpijak, dunia terasa berputar dan kemudian gelap.

Saat terbangun aku sudah berada di rumah, sementara itu para pelayat berbondong-bondong mendatangi rumah kami seraya mengucapkan duka cita.

Ayah Nampak tabah di depan jasad ibu.

Waktu berlalu, detik demi detik tak terasa meninggalkan sejumput kenangan yang terpatri di hati, awan hitam bergelantungan manja di awan. Suasana mendung namun tak mencipta hujan yang bercucur. Suara takbir menggema dimana-mana, menandakan hari kemenangan telah tiba. Hati terasa sepi tak terkira, menyambut Idul fitri pertama kali tanpa kehadiran ibu.

Tak terasa dua tahun sudah ibu meninggalkan kami, hari ini sebelum aku melangkahkan kakiku di kantor dinas untuk dilantik menjadi kepala sekolah, aku menyekar ke makam ibuku. Aku ditemani putri kecilku yang masih belia, putri yang selama ini begitu dirindukan olehku dan mas Robi dan tentu saja oleh ibuku. Sebulan setelah kepergian ibu, aku dinyatakan positif hamil. Wajah Putriku sangat mirip dengan ibuku, aku melihat ibuku dalam dirinya, namanya pun kuberikan nama yang sama seperti nama ibuku.

Kutaburi makam ibuku dengan bunga melati, aroma harum semerbak mewangi mulai terhirup. Ku kirimkan doa terbaik untuknya.

Ibu, hari ini Tia mau dilantik jadi kepala sekolah. Doakan Tia ya agar bisa menjadi pemimpin yang amanah dan membawa mamfaat.

Tia sudah mewujudkan mimpi-mimpi ibu agar Tia menjadi orang yang sukses. Tia rindu ibu…

Ku cium batu nisannya, air mata tak dapat kubendung lagi. Cucurannya mengalir deras membasahi kedua pipiku.

Ibu…

Aku yakin saat ini engkau sedang tersenyum melihatku, aku yakin saat ini engkau bangga dengan kesuksesanku.

Aku mencintaimu ibu, semoga Tuhan menempatkan engkau di tempat yang terbaik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TERSESAT

Cerita dikit perjalanan hari ini: Minggu-minggu ini vertigo ku suka kambuh, walau tidak separah dulu tapi tetap membuatku khawatir karena ...