Bagiku menggeluti dunia pendidikan khususnya menjadi seorang pendidik merupakan anugerah terindah yang Tuhan berikan dalam hidupku.
Aku merasa menjadi seorang pendidik merupakan separuh jiwaku, aku mencintai pekerjaanku seperti mencintai diriku sendiri.
Hal yang paling menarik dalam menggeluti profesi sebagai seorang pendidik adalah ketika berinteraksi dengan siswa.
Ada begitu banyak pelajaran hidup yang bisa kita dapatkan ketika kita meluangkan sedikit saja waktu kita di luar jam mengajar untuk lebih memgetahui latar belakang mereka khususnya kehidupan pribadi mereka.
Terkadang air mata akan mengalir deras ketika ada mengetahui ada siswa kita yang kehidupan pribadinya memprihatinkan, hidup sebatang kara, broken home dll.
Terkadang kita akan berdecak kagum ketika melihat prestasi-prestasi yang mereka torehkan
Terkadang akan ada geleng-geleng kepala ketika melihat tingkah laku yang dirasa menjengkelkan di hati.
Namun, satu hal yang pasti
Ketika kita memutuskan menjadi seorang pendidik disitu kita harus siap dan berkomitmen untuk melayani setiap siswa kita dengan sepenuh hati.
Bu apa ada transport buat saya?" Kata Rangga waktu itu
Transport dari mana, baru kerja segitu aja udah minta transport.
"Jawab Bu Mutia agak kesel"
Oo enggih bu mohon maaf."kata Rangga sambil menunduk berlalu dari hadapan bu Mutia."
Bu Mutia merupakan seorang guru yang merangkap sebagai wakil kepala sekolah bagian sarana dan prasarana
Rangga, tidak ada yang spesial kalau melihat secara sekilas sosok yang satu ini, cirì khas yang paling aku hafal dari sosoknya adalah jaket yang tidak pernah lepas dari tubuhnya. Di dalam kelas maupun di luar kelas dia selalu menggunakan jaket, entahlah ada alasan apa yang membuat dia melakukan itu.
Dia termasuk anak yang pendiam, tidak terlalu aktif di dalam kelas.
Pada saat mengajar dia, awalnya aku tidak terlalu memperhatikan,
Mengetahui latar belakang Rangga pun terjadi secara kebetulan.
Ah kalau mengingat hal ini betapa aku belum bisa menjadi pendidik yang baik, padahal seyogyanya sebagai pendidik yang baik kita harus mengetahui latar belakang anak didik kita, mengetahui setiap karakteristik masing-masing individu dari mereka.
Malam itu Rangga berkunjung ke rumah untuk mengembalikan laptopku yang dia pakai untuk membuatkan video testimoni guru penggerak. Secara tidak sengaja aku mengetahui anak ini ternyata sangat unggul di bidang IT, waktu itu ketua KGP meminta aku untuk membuat testimoni tentang guru penggerak, aku kemudian mencari tahu anak-anak yang cukup menguasai IT. Aku kemudian mendapatkan informasi dari anak-anak bahwa Rangga yang bisa.
Aku kemudian memanggil anak tersebut untuk melakukan syuting.
Rangga boleh ibu minta bantuanmu."tanyaku."
Enggih bu boleh sekali., apa yang bisa saya bantu?"jawabnya."
Ibu mau buat video testimoni, kamu bisa kan."tanyaku."
Siap bisa bu."jawab Rangga antusias."
Proses syutingpun di mulai.
Berbicara di depan kamera ternyata tidak semudah dibayangkan, apalagi video yang dibuat ini untuk ditonton oleh orang banyak yang terkait dengan kegiatan guru penggerak. Namun, tidak ada raut lelah, kesal dari wajah rangga malah sebaliknya dia yang lebih bersemangat melanjutkan kegiatan syuting sampai selesai.
Bu saya mau jalan ke rumah ibu anter laptop, chatnya waktu itu.
Ya nak ibu tunggu."balasku."
Assalaamualaikum
Selamat malam bu
Aku yang sedang menonton tv kemudian membukakan pintu gerbang, nampak Rangga dan satu orang siswaku juga bernama Sulthon.
Sulthon merupakan salah satu siswa kelas XI MIPA 3 sementara Rangga kelas XI MIPA 4.
Hai Sulthon jangan bilang kabur lagi dari rumah."ucapku menegurnya."
Ya bu, sudah dua minggu ini saya nginep di rumah Rangga."jawabnya."
Kenapa kabur lagi nak? Tanyaku sambil geleng-geleng kepala.
Awalnya Sulthon tidak mau menceritakan masalah yang dia hadapi, tapi dengan teknik coaching yang aku gunakan akhirnya berlahan-lahan dia mulai menceritakan masalahnya.
Sulthon bukanlah seorang anak yang berasal dari keluarga kekurangan, bapaknya seorang pejabat di dinas kehutanan, ibunya merupakan seorang PNS di salah satu sekolah di daerah Lombok Barat, namun di usianya yang masih remaja berbagai masalah berat sudah menimpa hidupnya, setiap kabur dari rumah dia akan mulai mencari pekerjaan akibatnya sekolahnya terbengkalai, dari segi kemampuan IT dia tidak kalah dari Rangga. Segala bentuk nasehat sebagai seorang guru kuutarakan untuknya dia hanya manggut-manggut mendengar nasehatku.
Kemudian aku beralih ke Rangga, aku mulai menanyakan Rangga berapa bersaudara dan lain-lain, di luar dugaanku Rangga menjawab bahwa di Lombok dia hanya tinggal sendiri. Aku sangat terkejut, masa ia ada anak seumuran dia dibiarkan hidup sebatang kara di sini orang tuanya kemana?.
Sama seperti Sulthon, awalnya Rangga pun tertutup dan tidak mau menceritakan masalah kehidupannya. Tapi dengan teknik coaching yang kugunakan perlahan-lahan dia mulai bercerita.
Ayah dan ibuku bercerai pada saat aku masih kecil."katanya mulai bercerita."
Dia kemudian menunduk sambil menghela nafas. Aku dengan setia menunggu kelanjutan ceritanya.
Aku kemudian dibawa pergi jauh oleh ibuku, saat itu, aku dan ibuku tinggal di Bali. Aku sama sekali tidak pernah berjumpa dan melihat wajah ayahku seperti apa sampai aku mulai sekolah di Taman Kanak-kanak.
Waktu itu, aku sedang menunggu jemputan dari ibuku namun sampai suasana sekolah sudah sepi ibuku tak kunjung menjemputku.
Tiba-tiba seorang bapak-bapak menegurku.
Kamu Rangga kan?." Tanyanya."
Ya om."jawabku polos."
Bapak itu langsung memelukku, ayah kangen sekali sama kamu anakku. Maafkan ayah baru sekarang bisa menemuimu.
Aku hanya bengong dan kebingungan melihat tingkahnya,selang beberapa saat kemudian ibuku datang untuk menjemput. Begitu melihat ayahku, aku melihat raut wajah ibu berubah, nampak kekesalan tergambar nyata di wajahnya. Dia kemudian menarik tanganku kasar dan menjauhkanku dari pria yang mengaku sebagai ayahku.
Ayah berusaha menarik tanganku juga, karena tenaga ayah lebih kuat, pria itu berhasil merebut tanganku.
Aku kemudian di bawa ke mobil, aku menangis meronta-ronta tapi ayahku tidak menghiraukannya sementara ibu berusaha berlari-lari mengejarku sambil menangis berteriak memanggil namaku.
Laju mobil semakin cepat, aku melihat dari kaca mobil ibu terjatuh sambil berusaha bangkit untuk mengejarku sampai akhirnya aku tersadar bayangan ibuku semakin menghilang.
Singkat cerita, aku dibawa oleh ayahku ke pulau Lombok tepatnya ke Gili Terawangan. Ayah sangat menyayangi dan memperhatikanku, segala kebutuhanku terpenuhi. Dia begitu memanjakanku, kami hidup di sebuah rumah kontrakan yang sederhana.
Rangga kemudian menghela nafas, matanya nampak berkaca-kaca.
Ketika aku kelas VI SD tiba-tiba ayah jatuh sakit, waktu itu aku hanya tinggal berdua dengan ayah.
Makin hari kondisi ayah semakin memprihatinkan. Ayah diberhentikan dari pekerjaan, akibatnya kami kesulitan ekonomi jangankan untuk berobat, untuk makanpun kadang sulit.
Hari itu duniaku terasa runtuh, awan gelap hitam bergelantungan di angkasa, titik-titik air hujan nampak bersembunyi namun tidak sabar untuk menurunkan bulirannya ke bumi.
Aku berteriak sekencang-kencangnya mengetahui ayahku sudah tidak bergerak lagi, tubuhnya dingin seperti es. Ku goyang-goyangkan tubuhnya sambil memanggil-manggil namanya namun tetap tidak ada sahutan. Ayahku sudah tiada, dia sudah meninggal dan aku yang masih belia harus merelakan semuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar